Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) sebagai salah satu organisasi asosiasi profesi terus berupaya untuk menjadi organisasi yang saintifik, professional dan terbuka.
Sebagai bagian dari organisasi profesi, tentu banyak hal yang telah dirintis dan dilakukan untuk pengembangan geofisika dan keilmuan terkait lainnya di Indonesia. Pada kepengurusan HAGI tahun 2018 – 2020, terdapat klaster baru yang diadopsi yaitu Klaster Meteorologi Klimatologi dan Oseanografi yang disingkat Kluster MKO. Dengan adanya Klaster MKO diharapan tema-tema dan permasalahan cuaca, iklim, dan kelautan menjadi bagian dari permasalahan fisika kebumian yang selama ini menjadi perhatian HAGI.
Salah satu yang saat ini menjadi persoalan Indonesia dan menjadi bencana kebangsaan bahkan lintas Negara adalah kebakaran hutan dan lahan, dan bencana kabut asap. Hingga akhir September 2019, telah terdeteksi lebih dari Sembilan ribu titik panas di Indonesia yang secara dominan terjadi di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Peringkat pertama titik panas (hotspot) Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla) terjadi di Kalimantan Tengah, disusul Kalimantan Barat, lalu peringkat ketiga diduduki provinsi Jambi. Sejumlah titik panas tersebut mengalami lonjakan sekitar 170 persen atau meningkat sebanyak tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu pada bulan yang sama (katadata.co.id, 16/9). Bencana kemanusiaan yang ditimbulkan karhutla dan kabut asap yaitu total 2.637 menderita sakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di wilayah terdampak (liputan6.com, 18/6), juga berdampak mengganggu visibilitas (jarak pandang) pengemudi hingga pada jarak 300 meter. Kejadian luar biasa ini telah membuat Presiden Joko Widodo menetapkan status siaga darurat Karhutla untuk provinsi Riau (cnnindonesia.com, 16/9) sehingga penanganan terhadap Karhutla menjadi prioritas utama yang harus segera dituntaskan.
Sebagai bentuk keprihatinan sekaligus kepedulian HAGI terhadap persoalan bencana karhutla tersebut, HAGI Kluster MKO mengadakan acara diskusi publik yang berbentuk Talk Show yang menghadirkan nara sumber Alue Dohong, Deputi Konstruksi Operasi dan Pemeliharaan, Badan restorasi Gambut (BRG), Rafles B. Pandjaitan dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Kementerian Lingkup Hidup dan Kehutanan (KLHK), Herizal, Deputi Bidang Klimatologi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Indah Prasasti, Penelitidari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Sungkono Sekretaris Pemerintah Daerah Kutai Kertanegara, dan juga Yuyun darmono dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkonsentrasi pada persoalan karhutla dan iklim. Acara tersebut bertempat di ruang Aula Gedung Pasca Sarjana Fisika Universitas Indonesia di Salemba pada tanggal 01 Oktober 2019. Acara tersebut dihadiri oleh sekitar 38 peserta.
Dari diskusi publik tersebut, setidaknya ditawarkan tindakan preventif meminilasi kejadian karhutla seperti mengembalikan ekologi lahan gambut sesuai kodratnya yaitu rehabilitasi dan restorasi lahan gambut agar terus terendam air, dan yang tak kalah pentingnya adalah edukasi berkesinambungan dan revolusi mindset masyarakat sekitar lahan gambut untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar lahan. Terdapat empat (4) hal menjadi pokok pemahaman umum dan capaian luaran yang didapat peserta diskusi terkait karhutla, yaitu: (1) Informasi mengenai sejarah Karhutla di Indonesia, kaitannya dengan kondisi iklim dan lahan gambut di Indonesia, (2) Gambaran kemajuan dan kelemahan penanganan Karhutla di Indonesia, (3) Strategi dan rekomendasi upaya pencegahan Karhutla pada masa mendatang di Indonesia, dan (4) Informasi potensi dan risiko Karhutla di ibukota baru.