Jakarta, HAGI News – Bagi Anda para penikmat langit malam tentu tak ingin melewatkan fenomena Blood Moon yang akan berlangsung pada Sabtu, 28 Juli mendatang. Menikmati gerhana bulan total sambil ditemani oleh secangkir teh hangat bersama orang terkasih dapat menjadi alternatif Anda mengisi ahir pekan. Lebih lagi gerhana bulan total ini akan menjadi gerhana terakhir yang terjadi di tahun 2018. Gerhana bulan pada Sabtu mendatang akan menampilkan pesona bulan dalam balutan warna merah gelap hingga kecoklatan. Mungkin banyak dari Anda yang bertanya-tanya, bagaimana bulan bisa berganti warna menjadi kemerahan hingga ahirnya dijuluki Blood Moon ?
Fenomena Blood Moon merupakan gerhana bulan yang terjadi ketika Matahari, Bumi, dan Bulan berada pada satu garis lurus. Fenomena Blood Moon ini terjadi karena sinar matahari yang sampai ke bulan telah melewati tepi atmosfer bumi terlebih dahulu. Di dalam atmosfer bumi, radiasi matahari berinteraksi dengan partikel-partikel udara yang menyebabkan adanya proses penghamburan. Dalam proses penghamburannya cahaya berwarna biru dari spectrum gelombang tampak menjadi cahaya yang paling banyak dihamburkan, sehingga menyisakan cahaya berwarna merah.Cahaya berwarna merah inilah yang selanjutnya sampai ke permukaan bulan sehingga menyebabkan bulan berwarna kemerahan. Menurut NASA, warna bulan sendiri dipengaruhi oleh kandungan debu, air, dan partikel lain di atmosfer bumi termasuk faktor suhu dan kelembaban.
Fenomena gerhana bulan pada Sabtu mendatang akan menjadi gerhana bulan terlama pada abad ke 21, dengan durasi gerhana pada fase totalnya adalah 1 jam 43 menit, seperti ditulis pada halaman space.com. Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gerhana bulan akan dimulai pada pukul 00.13 WIB hingga pukul 06.30 WIB. Fase gerhana total sendiri akan dimulai pukul 02.29 WIB dan mencapai fase puncak kemerahannya pada pukul 03.21 WIB. Meskipun begitu, tidak semua wilayah di Indonesia dapat menyaksikan keseluruhan fase gerhana bulan yang akan terjadi.
Berdasarkan informasi dari BMKG, sebagian wilayah Indonesia bagian barat yang meliputi, Bengkulu bagian utara, Riau bagian barat, sebagian besar Sumatera barat dan Sumatera utara serta Aceh dapat mengamati keseluruhan fase gerhana. Semakin ke wilayah Timur Indonesia, semakin berkurang fase gerhana yang dapat diamati dan sangat disayangkan bahwa sebagian besar wilayah Papua hanya dapat mengamati gerhana hingga mencapai fase total, yaitu fase sebelum puncak gerhana terjadi. Namun demikian, untuk wilayah Indonesia lainnya akan memiliki kesempatan untuk mengamati fase puncak gerhana Sabtu mendatang.
Jika saat ini gerhana bulan menjadi suatu fenomena yang dinanti dan digemari bagi para skywatchers, siapa sangka bahwa dulunya gerhana bulan dianggap sebagai suatu fenomena yang menakutkan. Cerita ini berawal dari seorang penjelajah asal Italia yang bernama Cristopher Colombus. Dikutip dari halaman space.com, pada salah satu perjalanannya, Colombus dan anak buahnya terdampar di suatu pulau yang saat ini dikenal sebagai Jamaika. Merekapun bertemu dengan pribumi di pulau tersebut yaitu suku Arawak.
Pada awalnya suku Arawak menyambut baik kedatangan Colombus dan anakbuahnya, bahkan mereka menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi para pendatang tersebut. Enam bulan berlalu, keramahan suku Arawak tampaknya mulai pudar, dan mereka mulai lelah dalam menyediakan makanan bagi Colombus dan anak buahnya. Dengan ancaman kelaparan, Colombus pun mencari ide agar suku Arawak tetap bersedia mensuplai makanan. Colombus kemudian mempelajari Almanak karangan astronomer jerman Johannes Müller von Königsberg. Almanac tersebut sangat terkenal hinga setelah dipublikasikan tak ada seorang pelaut pun yang berani berlayar tanpa membawanya. Singkat cerita setelah mempelajari Almanak, Colomubus mengetahui bahwa akan terjadi gerhana bulan total pada 29 Februari 1504.
Sebelum gerhana terjadi, Colombus mengatakan kepada suku Arawak bahwa Tuhannya murka atas tindakan suku Arawak yang tidak lagi mensuplai makanan untuk Colombus dan anak buahnya. Dan atas kemurkaan Tuhannya, maka bulan akan muncul secara penuh dan berganti warna menjadi merah meradang, sebagai tanda akan turunnya bahaya bagi suku Arawak. Menjelang fase gerhana penuh, ternyata hal itu benar terjadi, bulan tampak penuh dan meradang hingga menakuti suku Arawak. Melihat hal tersebut, suku Arawak berjanji kepada Colombus akan memberikan apapun yang dibutuhkan Colombus, asalkan Tuhannya mengembalikan bulan seperti semula. Kisah Colombus dan Suku Arawak merupakan salah satu kisah yang menggambarkan kepanikan masyarakat dahulu terhadap datangnya gerhana bulan. Namun, seiring perkembangan pengetahuan dan teknologi, rasa panik dan takut telah banyak bergeser menjadi rasa kagum akan salah satu fenomena astronomis yang jarang terjadi ini. Jadi, jangan lupa untuk memasang pengingat dari smartphone Anda, agar tidak terlewat dalam menyaksikan fenomena Blood Moon sabtu nanti.